Belajar pada dasarnya merupakan proses yang
terbentuk pada diri seseorang dari hasil interaksi baik dengan lingkungan
maupun dengan sesama manusia yang menuju pada perubahan tingkah laku. Belajar
identik dengan proses memperoleh dan mendapatkan pengetahuan atau ilmu. Tak
sedikit orang yang beranggapan bahwa belajar merupakan proses dari
ketidaktahuan akan suatu hal menjadi tahu atau paham akan suatu hal tersebut.
Belajar pada hubungannya dengan bermain sering diperbincangkan oleh banyak
orang sebagai dua kata yang memiliki makna kontras. Bermain identik pada
kegiatan yang dapat memberikan rasa senang dan kegiatan tersebut merupakan
bentuk yang menjadi kesukaan, namun dalam bermain terjadi pencapaian kepuasan
yang hanya sesaat. Anggapan bermain tersebut bagi beberapa orang membawa pada terpecahnya
makna belajar dan bermain yang menimbulkan sekat antara belajar dan bermain.
Bagi kebanyakan orang tua menganggap bahwa anak
sebaiknya memiliki porsi belajar yang lebih tinggi dari pada porsi bermain. Hal
ini mengakibatkan berkurangnya porsi bermain pada anak yang telah tergantikan
dengan porsi belajar. Anggapan beberapa orang tua tersebut berlandaskan bahwa belajar
merupakan bekal kelak sang anak mencapai cita-cita dan bermain hanya sebagai
penghambat meraih cita-cita tersebut. Dalam arti yang lebih sederhana dapat
disimpulkan oleh beberapa orang tua bahwa belajar lebih baik dari pada bermain.
Pada segi anak yang menerima perlakuan demikian tentunya tidak mampu berkata
untuk menolak, sehingga dalam diri sang anak akan tertanam konsep belajar lebih
baik dari pada bermain.
Tak hanya beberapa orang tua yang berpandangan
negatif terhadap bermain, namun beberapa pendidik juga berpandangan demikian.
Hal ini tercermin pada pembelajaran yang kerap kali dilakukan oleh pendidik
dengan menghadirkan konsep dan pola belajar yang sebenarnya, dalam artian tidak
mempedulikan konsep bermain atas belajar. Sebagian pendidik lebih senang dan
bangga apabila di dalam ruang kelas para peserta didik tekun dalam belajar
dengan memperhatikan penjelasan pendidik dan sering membaca buku serta tidak
menimbulkan suara gaduh atau ramai. Padahal dalam bermain terjadi proses pembentukan
pemahaman mengenai suatu hal dan pengalaman dalam diri anak yang sebenarnya
jika anak difasilitasi untuk bermain maka akan terbentuk suatu daya kreatifitas
dan daya imajinatif dalam diri sang anak.
Bermain bukan lagi suatu kegiatan tanpa makna,
melainkan suatu kegiatan yang mampu merangsang anak dalam mengembangkan
dirinya. Pemberian fasilitas untuk bermain juga harus dimengerti sebagai proses
dalam mengembangkan pemahaman dan pengalaman sang anak, bukan sebagai kegiatan
menyenangkan hati sang anak atau mencegah anak menangis. Pemberian fasilitas
bermain seyogyanya dilakukan dengan berbagai permainan yang bermakna, sehingga
anak akan terangsang terhadap makna permainan itu sendiri yang merupakan
penjelasan akan suatu hal. Misalnya permainan bermain peran mengenai profesi,
dalam permainan tersebut anak akan dirangsang untuk menjadi seseorang contohnya
polisi, dokter, guru, pilot dan lain-lain, kemudian anak akan berusaha memahami
dan melakukan bagaimana peran masing-masing profesi tersebut.
Berdasarkan pengertian mengenai bermain maka sudah
tidak bisa terbantahkan lagi bahwa di dalam kegiatan bermain terjadi proses
belajar. Oleh karena itu, seyogyanya sebagai orang tua bahkan pendidik mampu
memfasilitasi anak dalam hal bermain karena bermain merupakan dunia anak yang
tidak akan tergantikan pada waktu anak itu sudah dewasa. (Fatchan Chasani)
Sumber gambar:
0 komentar:
Posting Komentar