
A.
PENGANTAR
Filsafat ilmu secara kalimat terdiri
atas dua kata, yaitu filsafat dan ilmu. Kedua kata tersebut satu sama lain
saling berkait erat, dimana filsafat didasarkan bagi perkembangan ilmu dan juga
sebaliknya perkembangan ilmu menjadi penguat adanya filsafat. Dewasa ini,
filsafat menjadi tonggak adanya perubahan yang mendasar bagi kehidupan.
Perubahan yang terjadi terlihat dari adanya pergeseran kepercayaan dan
pemahaman zaman lampau mengenai pandangannya terhadap dunia yang dikuasai oleh
kekuatan-kekuatan mistik atau magis. Dewa-dewa seolah-olah menjadi penggerak
alam semesta dan hal itu wajib diimani manusia pada zaman itu. Namun,
pergeseran terjadi dari pola pikir mistis menjadi pola pikir logis, dimana meletakkan
pikiran-pikiran rasionalitas sebagai bentuk mencari kebenaran.
Pergeseran tersebut menjadi jalan
terwujudnya suatu perubahan fundamental. Seperti yang diungkapkan Amsal
Bakhtiar dalam pendahuluan buku “Filsafat Ilmu” bahwa perubahan yang mendasar
adalah ditemukannya hukum-hukum dan teori-teori ilmiah yang menjelaskan
perubahan yang terjadi, baik di alam jagad raya (makrokosmos) maupun alam
manusia (mikrokosmos). Dari penelitian alam jagad raya bermunculan ilmu
astronomi, kosmologi, fisika, kimia dan sebagainya, sedangkan dari manusia
muncul ilmu biologi, psikologi, sosiologi dan sebagainya. Ilmu-ilmu tersebut
kemudian dalam perkembangannya menjadi lebih khusus (terspesialisasi) dengan
bentuk yang lebih kecil dan sekaligus semakin aplikatif dan terasa manfaatnya.
Usaha untuk menggali lebih dalam
mengenai filsafat ilmu maka dapat dilakukan dengan jalan mengetahui terlebih
dahulu arti dari filsafat dan ilmu. Menurut Mohammad Adib (2010: 35)
mendeskripsikan filsafat adalah suatu pengetahuan yang bersifat eksistensial
artinya sangat erat hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Bahkan,
dapat dikatakan filsafatlah yang menjadi motor penggerak kehidupan kita
sehari-hari baik sebagai manusia pribadi maupun sebagai manusia kolektif dalam
suatu masyarakat atau bangsa. Sedangkan kata ilmu merupakan terjemahan dari
kata “science” artinya ”to know” yang diartikan untuk
menunjukkan ilmu pengetahuan alam yang bersifat kuantitatif dan objektif. Ilmu
dikatakan rasional, karena ilmu merupakan hasil dari proses berpikir dengan
menggunakan akal, atau hasil berpikir secara rasional.
Berdasarkan definisi filsafat dan ilmu
maka dapat ditarik suatu pengertian mengenai filsafat ilmu yaitu penyatuan
pemikiran (hasil berpikir logis) yang didasarkan atas ilmu sebagai usaha dalam pemecahan
persoalan-persoalan atau pencarian kebenaran berkaitan dengan kehidupan
manusia.
Ilmu sebagai objek kajian dalam filsafat
menempatkan ilmu dalam dua objek yaitu (1) objek material dan (2) objek formal.
Objek material lebih mengarah pada segala sesuatu yang menjadi bahan untuk
dicari, digali dan diselidiki. Sedangkan objek formal lebih fokus pada
cara-cara atau metoda dalam menyelidiki suatu bahan atau materi. Definisi
menurut Amsal Bakhtiar (2013: 1) mengenai objek material adalah segala yang ada
mencakup ada yang tampak dan ada yang tidak tampak. Ada yang tampak adalah
dunia empiris, sedangkan ada yang tidak tampak adalah alam metafisika. Sebagian
filsuf membagi objek material filsafat atas tifa bagian yaitu yang ada dalam
alam empiris, yang ada dalam pikiran dan yang ada dalam kemungkinan. Adapun,
objek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal dan
rasional tentang segala yang ada.
B.
LANDASAN-LANDASAN FILSAFAT ILMU
Landasan filsafat ilmu menjelaskan
mengenai penjabaran, pengkajian dan penelaahan ilmu. Uraian tersebut merupakan
upaya dalam memberikan gambaran mengenai hakikat keberadaan ilmu. Beberapa
penelaahan ilmu dari landasan filsafat ilmu dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Landasan Ontologi
Menurut
Amsal Bakhtiar (2013: 132) menjelaskan bahwa kata ontologi berasal dari
perkataan Yunani : On = being dan
Logos = logic. Jadi ontologi adalah the theory of being qua being (teori
tentang keberadaan sebagai keberadaan).
Di
sisi lain, Noeng Muhadjir (2001: 57) mengatakan bahwa ontologi membahas tentang
yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas
tentang yang ada secara universal, menampilkan pemikiran semesta universal.
Sedangkan menurut Jujun S. Suriasumantri dalam Amsal Bakhtiar (2013: 133),
ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu
atau dengan perkataan lain, pengkajian mengenai teori tentang “ada”.
Amsal
Bakhtiar (1997: 169) juga menjelaskan ontologi adalah teori atau ilmu tentang
wujud, tentang hakikat yang ada,
dimana ontologi tidak banyak berdasar pada alam nyata, tetapi pada logika
semata-mata.
Lebih
lanjut, ontologi berupaya mengetahui tentang hakikat sesuatu, antara lain ingin
mengetahui bagaimana realita yang ada, apakah materi saja, apakah wujud sesuatu
ini bersifat tetap, kekal tanpa perubahan, apakah realita terbentuk satu unsur
(monoisme), dua unsur (dualisme) ataukah terdiri dari unsur
yang banyak (pluralisme). Ontologi
dibatasi adanya mutlak, keterbatasan, umum dan khusus.
Di
dalam pemahaman ontologi, Amsal Bakhtiar (2013: 135) menentukan
pandangan-pandangan pokok pemikiran yang menjadi suatu paham sebagai berikut:
a. Monoisme
Paham ini
menyatakan bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan hanya satu saja,
tidak mungkin dua, sehingga harus satu hakikat saja sebagai sumber asal, baik
yang asal berupa materi maupun berupa rohoni. Dalam perkembangannya paham ini
terbagi menjadi dalam dua aliran yaitu aliran materialisme dan aliran
idealisme.
b. Dualisme
Paham ini menganggap
terdapat dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan
hakikat rohoni, benda dan ruh, jasad, dan spirit.
c. Pluralisme
Paham ini
berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan, dimana dunia
adalah dunia yang terdiri dari banyak hal yang beraneka ragam atau plurals.
d. Nihilisme
Nihilisme
berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing
atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif
positif. Pertama, tidak ada sesuatu
pun yang eksis. Kedua, bila sesuatu
itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ini disebabkan oleh penginderaan itu tidak
dapat dipercaya, penginderaan itu sumber ilusi. Begitu juga dengan akal yang
bersifat subjektif.
e. Agnostisisme
Paham yang
mengingkari atau menyangkal adanya kemampuan manusia mengetahui hakikat benda
baik materi maupun rohani.
Berdasarkan beberapa
pengertian dan pandangan di atas mengenai ontologi maka dapat disimpulkan bahwa
ontologi merupakan ilmu atau teori tentang
keberadaan yang menyelidiki hakikat alam nyata dan bagaimana keadaan yang
sebenarnya atau merupakan apa yang menjadi obyek kajian.
2.
Landasan Epistemologi
Epistemologi
adalah pengetahuan yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apakah
pengetahuan, cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan dan jenis-jenis
pengetahuan. Menurut epistemologi, setiap pengetahuan manusia itu adalah hasil
dari benda atau diperiksa, diselidiki dan akhirnya diketahui (obyek), manusia
juga melakukan berbagai pemeriksaan dan penyelidikan dan akhirnya mengetahui
(mengenal) benda atau hal yang telah diselidiki tadi (subyek), (Salam, 1997:19).
Kemudian, epistemologi membahas sumber, proses, syarat, batas fasilitas dan
hakikat pengetahuan yang memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia
memberikan kebenaran kepada murid-muridnya (Noor Syam, 1986: 95).
Amsal
Bakhtiar (2013: 148) menjelaskan bahwa epistemologi ialah teori pengetahuan
yang merupakan cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup
pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya secara pertanggungjawaban
atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Di
lain pihak, Aripin Banasuru (2013: 96) menjabarkan epistemologi terdiri atas
epistemologi subjektif dan epistemologi pragmatik. Epistemologi subjektif
memberikan implikasi pada standar rasional tentang hal yang diyakini.
Menggunakan standar berarti bahwa sesuatu yang diyakini benar itu, tentunya
memiliki sifat yang reliabel. Apabila
ajeg sebagai standar, para reliabilis itu pada
hakikatnya adalah objektivitas. Sebaliknya, karena yang diyakini benar tersebut
perlulah terolah secara reflektif, maka sifatnya menjadi kembali subjektif.
Ditambahkan
kembali oleh Amsal Bakhtiar (2013: 152-155) bahwa pengetahuan yang diperoleh
manusia melalui akal, indera dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam
teori pengetahuan, di antaranya adalah:
a. Metode Induktif
Metode induktif
memberi pengertian pada penyimpulan hasil observasi menuju suatu pernyataan
yang lebih umum
b. Metode Deduktif
Metode deduktif
memfokuskan pada pengolahan data-data empirik secara runtut (perbandingan logis
atas kesimpulan-kesimpulan itu sendiri).
c. Metode
Positivisme
Metode
positivisme berpusat pada apa yang diketahui, faktual dan positif (menolak
adanya metafisika)
d. Metode
Kontemplatif
Metode
kontemplatif berpangkal pada kekuatan kontemplasi (renungan dan intuisi)
e. Metode Dialektis
Metode dialektis
merupakan dialog sebagai cara menyelidiki sesuatu masalah (berpikir filsafat).
Dialektis disebut juga metode tanya jawab untuk mencapai
kejernihan filsafat. Dialektika berarti tahap logika yang mengajarkan
kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik tentang
ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan. Dalam kehidupan
sehari-hari dialektika berarti kecakapan untuk melakukan perdebatan.
Berdasarkan kajian mengenai
epistemologi di atas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa epistemologi
merupakan teori tentang pengetahuan yang memfokuskan pada cara perolehan atau
penangkapan pengetahuan dan jenis-jenis pengetahuan yang dilakukan oleh
manusia. Epistemologi mengilhami adanya hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu
filsafat tentang pengetahuan. Dampak yang dimunculkan dari adanya epistemologi
yaitu berkembangnya ilmu pengetahuan (iptek), meningkatnya peradaban manusia
dan tercapainya kesejahteraan sosial.
3.
Landasan Aksiologi
Amsal
Bakhtiar (2013: 163) menguraikan beberapa definisi aksiologi sebagai berikut:
a. Aksiologi
berasal dari perkataan axios (Yunani)
yang berarti nilai dan logos yang
berarti ilmu. Jadi aksiologi adalah “teori tentang nilai”.
b. Sedangkan arti
aksiologi menurut Jujun S. Suriasumantri diartikan sebagai teori nilai yang
berkaitan dengan keguanaan dari pengetahuan yang diperoleh
c. Menurut Bramel,
aksiologi terbagai dalam 3 bagian. Pertama,
moral conduct yaitu tindakan moral,
bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic espression yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini
melahirkan keindahan. Ketiga,
sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan
filsafat sosio-politik.
Aksiologi menyangkut
nilai-nilai yang berupa pertanyaan, apakah yang baik dan bagus itu (Manfaat). Aksiologi
Scheler dalam Aripin Banasuru (2013: 96) menampilkan konsep-konsep etik tentang
pengalaman nilai, bedanya yang baik dengan yang mempunyai value. Scheler menampilkan 4 jenis values sebagai berikut:
a. Values sensual,
dalam tampilan seperti menyenangkan dan tidak menyenangkan;
b.
Nilai hidup,
seperti agung atau bersahaja;
c.
Nilai kejiwaan,
seperti nilai estetis, nilai benar, nilai salah dan nilai intrinsik ilmu;
d.
Nilai religius,
seperti yang suci dan yang sakral.
Lebih
lanjut, aksiologi dipahami sebagai pencapaian manfaat dari suatu objek yang
berorientasi pada nilai. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Mohammad Adib
(2010) yang menjelaskan bahwa aksiologi merupakan cabang filsafat yang
membicarakan tentang orientasi atau nilai suatu kehidupan. Ditambahkan pula
pada Encyclopedia of Philosophy dalam
Amsal Bakhtiar (2013: 164-165) bahwa aksiologi disamakan dengan value and valuation. Terdapat 3 bentuk value and valuation yang dijabarkan
sebagai berikut:
a. Nilai digunakan
sebagai kata benda abstrak;
b. Nilai digunakan
sebagai kata benda konkret;
c. Nilai digunakan
sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai dan dinilai.
Berdasarkan atas
definisi dan penjabaran mengenai aksiologi di atas maka dapat digarisbawahi
adanya fokus pada nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki
manusia untuk melakukan sesuatu dengan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai. Kemudian, pada tahap berikutnya teori tentang nilai dibahas lebih
lanjut pada etika dan estetika.
4.
Landasan Etika
Menurut Mohammad Adib
(2010: 205) menjelaskan dalam bahasa Inggris etika disebut ethic (singular) yang berarti a
system of moral principle or rules of behaviour, atau suatu sistem, prinsip
moral, aturan atau cara berperilaku. Akan tetapi, terkadang ethics (dengan tambahan huruf s) dapat
berarti singular yang berarti the branch
of philosophy that deals with moral principles, suatu cabang filsafat yang
memberikan batasan prinsip-prinsip moral. Jika ethics dengan maksud plural (jamak) berarti moral principles that govern or influence a
person’s behaviour, prinsip-prinsip moral dipengaruhi oleh perilaku
pribadi.
Di sisi lain, Aripin
Banasuru (2013: 126) menjelaskan istilah etika berasal dari bahasa Yunani Kuno.
Kata ethos dalam bentuk tunggal
memiliki banyak arti: tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang,
kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan dan sikap cara berpikir. Dalam bentuk
jamak ta etha yang berarti adat
kebiasaan yang kemudian menjadi latar belakang terbentuknya istilah “etika”.
Istilah etika sering disinonimkan dengan istilah seperti moral, susila, budi
pekerti, dan akhlak.
Usaha dalam menyelidiki
tingkah laku moral ini dapat diklasifikasikan menurut Mohammad Adib (2010: 206)
sebagai berikut:
a. Etika
deskriptif; mendeskripsikan tingkah laku moral dalam arti luas, seperti adat
kebiasaan, anggapan tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan
atau tidak diperbolehkan. Objek penyelidikannya adalah individu-individu dan
kebudayaan-kebudayaan.
b. Etika normatif;
seseorang dapat dikatakan sebagai participation
approach karena yang bersangkutan telah melibatkan diri dengan mengemukakan
penilaian tentang perilaku manusia. Ia tidak netral karena berhak untuk
mengatakan atau menolak suatu etika tertentu.
c. Metaetika;
berawal dari meta (Yunani) yang
berarti “melebihi” atau “melampaui”. Metaetika bergerak seolah-olah pada taraf
lebih tinggi daripada perilaku etis yaitu pada taraf “bahasa etis” atau bahasa
yang digunakan di bidang moral.
Berdasarkan penjelasan
mengenai etika maka dapat disimpulkan bahwa etika memuat ilmu tentang sistem,
prinsip moral, dan cara berperilaku. Perilaku atau tingkah laku dalam etika
dimaknai dalam konteks baik-buruk dan salah-benar. Selain itu, etika menggali
dalam hal kebiasaan-kebiasaan manusia yang kemudian menjadi landasan manusia
dalam berbudaya. Lebih lanjut, dalam perkembangannya melalui etika maka manusia
diharapkan mampu menjadikan pondasi sehingga menghindari adanya
penyimpangan-penyimpangan dan kejahatan dalam kehidupan. Di samping itu,
melalui etika maka akan diharapkan manusia mampu dalam menumbuhkan kesadaran
moral baik secara individu maupun sosial.
5.
Landasan Positivisme
Mohammad Adib (2010:
122) memaparkan bahwa positivisme dirintis oleh August Comte (1798-1857) yang
dianggap sebagai Bapak ilmu Sosiologi Barat. Positivisme sebagai perkembangan
empirisme yang ekstrem adalah pandangan yang menganggap bahwa yang dapat diselidiki
atau dipelajari hanyalah “data-data yang nyata/empirik”, atau yang dinamakan
positif. Penganut paham ini meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika
ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam karena masyarakat dan kehidupan sosial
berjalan berdasarkan aturan-aturan demikian juga alam.
Di sisi lain, Amsal
Bakhtiar (2013: 154) menuliskan bahwa positivisme mengenyampingkan segala
uraian/ persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Hal ini dikarenakan
positivisme berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual dan positif
sehingga menolak adanya metafisika.
Menurut August Comte
dalam Amsal Bakhtiar (2013: 154) menjabarkan bahwa perkembangan pemikiran
manusia berlangsung dalam 3 tahap sebagai berikut:
a. Tahap Teologis
Tahap ini
menjelaskan pada dasarnya orang berkeyakinan bahwa dibalik segala sesuatu
tersirat pernyataan kehendak khusus.
b. Tahap Metafisis
Pada tahap
metafisis terdapat kekuatan adikodrati yang diubah menjadi kekuatan yang
abstrak, yang kemudian dipersatukan dalam pengertian yang bersifat umum yang
disebut alam dan dipandangnya sebagai asal dari segala gejala.
c. Tahap Positif
Pada tahap ini,
usaha untuk mencapai pengenalan yang mutlak, baik pengetahuan teologis ataupun
metafisis dipandang tak berguna, menurutnya, tidaklah berguna melacak asal dan
tujuan akhir seluruh alam (melacak hakikat yang sejati dari segala sesuatu)
karena yang penting adalah menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang
terdapat pada fakta-fakta dengan pengamatan dan penggunaan akal.
Pandangan
yang muncul mengenai ontologi dan epistemologi dari positivisme adalah sebagai
berikut:
a. Ontologi
bersifat nyata, artinya realita itu memiliki keberadaan sendiri yang diatur
oleh hukum-hukum alam dan mekanisme yang bersifat tetap;
b. Epistemologi;
memiliki ciri dualis (objektif) dan bersifat esensial dimana terdapat
kemungkinan bagi peneliti untuk mengambil jarak dan bersikap tidak melakukan
interaksi dengan objek yang diteliti.
Berdasarkan
paparan mengenai positivisme maka dapat digarisbawahi bahwa positivisme
merupakan cara pandang dalam memahami dunia berdasarkan sains yang menganggap
segala sesuatu yang diselidiki atau dipelajari adalah data-data empirik/nyata.
Positivisme secara kuat mempertahankan dirinya pada segala sesuatu yang telah
diketahui, faktual dan positif melalui segala yang tampak dan segala gejala
dengan menggunakan penginderaan manusia (observasi).
6.
Landasan Post-Positivisme
Post-positivisme muncul
sebagai bentuk perbaikan dari adanya positivisme. Guba (1990: 20) menjelaskan
Postpositivisme sebagai berikut: “Postpositivism
is best characterized as modified version of positivism. Having assessed the
damage that positivism has occured, postpositivists strunggle to limited that
damage as well as to adjust to it. Prediction and control continue to be the
aim.” Post-positivisme mempunyai ciri utama sebagai suatu modifikasi dari
positivisme. Melihat banyaknya kekurangan pada positivisme menyebabkan para
pendukung post-positivisme berupaya memperkecil kelemahan tersebut dan
menyesuaikannya. Prediksi dan kontrol tetap menjadi tujuan dari
post-positivisme tersebut.
Lebih lanjut, menurut
Guba (1990: 23) pandangan yang muncul mengenai ontologi dan epistemologi dari
post-positivisme adalah sebagai berikut:
a. Ontology
: “Critical realist – reality exist but
can never be fully apprehended. It is driven by natural laws that can be only
incompletely understood”. Asumsi ontologi: “Realis kritis artinya realitas
itu memang ada, tetapi tidak akan pernah dapat dipahami sepenuhnya. Realitas
diatur oleh hukum-hukum alam yang tidak dipahami secara sempurna.”
b. Epistomology:
“Modified objectivist – objectivity
remains a regulatory ideal, but it can only be approximated with special
emphasis placed on external guardians such as the critical tradition and
critical community”. Asumsi epistomologi: “Objektivis modifikasi artinya
objektivitas tetap merupakan pengaturan (regulator) yang ideal, namun
objektivitas hanya dapat diperkirakan dengan penekanan khusus pada penjaga
eksternal, seperti tradisi dan komunitas yang kritis”.
c. “Methodology: Modified experimental/manipulative –
emphasize critical multiplism. Redress imbalances by doing inquiry in more
natural settings, using more qualitative methods, depending more on grounded
theory, and reintroducing discovery into the inqury process”. Asumsi metodologi:
eksperimental/manipulatif yang dimodifikasi, maksudnya menekankan sifat ganda
yang kritis. Memperbaiki ketidakseimbangan dengan melakukan penelitian dalam
latar yang alamiah, yang tidak banyak menggunakan metode-metode kualitatif,
lebih tergantung pada teori-grounded (grounded-theory) dan memperlihatkan upaya
(reintroducing) penemuan dalam proses penelitian.
Salim (2001:40)
menjelaskan pandangannya mengenai post-positivisme sebagai aliran yang ingin memperbaiki
kelemahan-kelemahan positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan
langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologi aliran ini bersifat
critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan
sesuai dengan hukum alam, tetapi suatu hal, yang mustahil bila suatu realitas
dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Selanjutnya dijelaskan
secara epistomologis hubungan antara pengamat atau peneliti dengan objek atau
realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan, tidak seperti yang diusulkan
aliran Positivisme. Aliran ini menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai
atau melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut
terlibat dengan objek secara langsung. Oleh karena itu, hubungan antara
pengamat dengan objek harus bersifat interaktif, dengan catatan bahwa pengamat
harus bersifat senetral mungkin, sehingga tingkat subjektivitas dapat dikurangi
secara minimal.
Bentuk kritikan
terhadap positivisme ditulis oleh Salim (2001) dalam 3 hal pokok sebagai
berikut:
a.
Observasi
sebagai unsur utama metode penelitian
b.
Hubungan yang
kaku antara teori dan bukti
c.
Tradisi keilmuan
yang terus berkembang dan dinamis
Berdasarkan kajian
mengenai post-positivisme maka dapat disimpulkan bahwa post-positivisme merupakan
bentuk perbaikan dari adanya positivisme menekankan adanya kelemahan dari
observasi, artinya pada positivisme berpandangan bahwa pengamatan langsung
melalui inderawi terhadap objek penelitian dianggap sudah cukup untuk
dilakukan. Padahal harus terdapat analisis lanjut terkait objek yang diteliti,
sehingga hal ini memunculkan post-positivisme sebagai hasil koreksi
positivisme. Oleh karena itu, dalam post-positivisme menghendaki adanya
analisis lanjut dari objek penelitian sebagai upaya untuk mencapai objektivitas
yang tinggi.
C.
KESIMPULAN
Filsafat dan ilmu bergabung membentuk filsafat ilmu yang sejatinya
mengarah pada satu tujuan yaitu berkembangnya ilmu dan pengetahuan. Kolaborasi
keduanya secara berurutan menelaah mengenai dasar-dasar ilmu, metode dan
konsep. Mustansyir dan Munir (2001: 49) menjelaskan bahwa filsafat ilmu sebagai
cabang pengetahuan filsafati yang menelaah sistematis mengenai sifat dasar
ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya dan pranggapan-praanggapannya serta
letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual.
Ditambahkan pula oleh Aripin Banasuru (2013: 17) bahwa filsafat ilmu
merupakan cabang khusus filsafat yang membicarakan tentang sejarah perkembangan
ilmu, metode-metode ilmiah dan sikap etis para ilmuwan. Secara umum sikap etis
yang harus dikembangkan para ilmuwan mengandung tujuan-tujuan sebagai berikut:
1. Filsafat ilmu sebagai sarana pengujuan penalaran ilmuah, sehingga orang
menjadi kritis terhadap kegiatan ilmuah;
2. Filsafat ilmu merupakan usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan metode
keilmuan;
3. Filsafat ilmu memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan.
Dengan berbagai landasan filsafat ilmu yang telah dijabarkan di atas maka
semestinya dapat digunakan dalam upaya
memberikan gambaran mengenai hakikat keberadaan ilmu, sehingga pada akhirnya
filsafat ilmu dapat mewujudkan perkembangan ilmu, pengetahuan dan teknologi
serta mengarahkan pada penggalian seluruh potensi dan sumber daya yang ada demi
tercapainya kesejahteraan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Adib, Mohammad. 2010. Filsafat Ilmu : Ontologi, Epistemologi,
Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan, Edisi ke 2, Cetakan 1. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar
Bakhtiar, Amsal. 1997. Filsafat Agama I. Jakarta : Logos Wacana
Ilmu
Bakhtiar, Amsal. 2013. Filsafat Ilmu. Jakarta : Rajawali Pers
Banasuru, Aripin
(2013). Filsafat dan Filsafat Ilmu: dari
hakikat ke tanggung jawab. Bandung: Alfabeta.
Guba, E.G. 1990. The Paradigm Dialog. Newbury Park, CA: Sage.
Muhadjir, Noeng. 2001. Filsafat Ilmu, Positivisme, Post
Positivisme, Post Modernisme. Yogyakarta : Rakesarin
Mustansyir, Rizal dan
Misnal Munir. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Noor Syam, Muhammad.
1986. Filsafat Pendidikan dan Dasar
Filsafat Pendidikan Pancasila. Usaha Nasional.
Salam, Burhanuddin.
(1997). Pengantar Pedagodik, (Dasar-dasar Ilmu Mendidik),(akarta: Rineka Cipta.
Salim, Agus. (2001).
Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara wacana.
0 komentar:
Posting Komentar